Kamis, 6 May 2010
Sesampainya di Suvarnabhumi Airport kami, si Muka Lebar dan si Kaki Berbulu, berpisah dengan Aria dan Lisa yang akan menuju ke Pattaya. Tidak lupa kami mengambil peta-peta Bangkok yang banyak tersedia di Bandara, terutama peta Bangkok yang diterbitkan TAT yang tersedia di booth TAT*.
Sesampainya di Suvarnabhumi Airport kami, si Muka Lebar dan si Kaki Berbulu, berpisah dengan Aria dan Lisa yang akan menuju ke Pattaya. Tidak lupa kami mengambil peta-peta Bangkok yang banyak tersedia di Bandara, terutama peta Bangkok yang diterbitkan TAT yang tersedia di booth TAT*.
Suvarnabhumi Airport, bersih dan besar, dengan banyak petunjuk berguna, sehingga mudah mencari jalan keluar menuju tempat antrian taxi yang ada dilantai bawah. Sistemnya cukup mudah, kami memberikan alamat yg dituju pada mbak-mbak penjaga booth taxi yang kemudian memberikan kertas (dalam bahasa Thailand keriting) kepada supir taxi (yang tidak bisa bahasa inggris)**. Tarifnya adalah argo taxi+50THB.
Hotel kami terletak di salah satu gang Petchaburi 15, di depan KBRI. Sesampainya di hotel, kami keluar melihat-lihat daerah sekitar hotel. Udara malam yang panas dan lembab jam menunjukan pukul 10.30pm, toko-toko pakaian yang beberapa masih buka, beberapa pedagang makanan dan buah di sepanjang trotoar, tidak ramai, tidak crowded, agak sepi malah. Aneh, kaya berada di sepanjang pertokoan di daerah kota tua (jakarta), daerah jembatan merah (surabaya) atau jalan jampea (makassar) minus ributnya dan lampu warna-warni, tidak kuno tapi ketinggalan jaman. Satu-satunya tempat yang terlihat moderen adalah adanya 7/11 (agak banyak, jumlahnya sama seperti menjamurnya ****mart di Indonesia) dan Mc Donald (sejak kapan MC D dan 7/11 dijadikan lambang modernisasi ?).
Hotel kami terletak di salah satu gang Petchaburi 15, di depan KBRI. Sesampainya di hotel, kami keluar melihat-lihat daerah sekitar hotel. Udara malam yang panas dan lembab jam menunjukan pukul 10.30pm, toko-toko pakaian yang beberapa masih buka, beberapa pedagang makanan dan buah di sepanjang trotoar, tidak ramai, tidak crowded, agak sepi malah. Aneh, kaya berada di sepanjang pertokoan di daerah kota tua (jakarta), daerah jembatan merah (surabaya) atau jalan jampea (makassar) minus ributnya dan lampu warna-warni, tidak kuno tapi ketinggalan jaman. Satu-satunya tempat yang terlihat moderen adalah adanya 7/11 (agak banyak, jumlahnya sama seperti menjamurnya ****mart di Indonesia) dan Mc Donald (sejak kapan MC D dan 7/11 dijadikan lambang modernisasi ?).
Di pinggir jalan terlihat truk sampah yang mengambil sampah menggunung di pinggir jalan (jarang banget ada tempat sampah di pinggir jalan, untungnya orang sana gak budaya buang sampah sembarangan, walaupun banyak jajanan disekitarnya). Bangkok terlihat tidak secantik jakarta, toko-toko tua dan banyak jalan besar yang tertutup struktur beton BTS diatasnya, berhimpitan dengan gedung bertingkat disekeliling jalan, tampak kumuh jadinya.
Anyway rencana kita malam ini adalah khao san road, tempat turis yang terkenal, semacam Poppies di Bali dan makan di Thip Samai. Setelah jalan-jalan, si Kaki Berbulu mendekati Tuk-tuk dan bernegosiasi harga. Sepakatlah tuk-tuk membawa kami ke Khao San seharga 50 THB.
Bangkok Scam
Beware pada tuk-tuk yang menawarkan harga murah! Walaupun tidak murah juga (50 THB itu mahal buat ukuran naik tuk-tuk), ternyata kami dikelabui! Tuk-tuk yang kami naiki ternyata membawa kami ke restoran antah berantah, masih di blok yang sama dengan hotel kami (tapi tempatnya agak sepi, didepan ada sungai kecil, dengan hanya ada 1 tukang tuk-tuk lain di depan restoran), yang begitu sampai di restoran (tampaknya menjual seafood) kami langsung disambut om-om dengan senyum licik (sok baik) “Welcome...”,
Muka lebar: “I want to go to Khao San”
Liar who rides tuk-tuk: “No go here first”
Mr. Welcome: “Are you hungry? Are you hungry?”
Muka lebar: “No, it’s misunderstanding, i dont wanna eat here”
Liar who rides tuk-tuk: “you eat here, i will take you to Khao San”
Muka lebar: “NO! I dont want to eat. Take me back to the HOTEL!”
Gue lupa intinya, gue dan si Kaki Berbulu ngomong apa, setelah itu karena terjadi perdebatan antara tukang tuk-tuk, om-om, dan kami berdua, yang jelas gue kesel. Kalo tempatnya kaga spooky, gue pasti ud turun dari tuk-tuk, gak pake bayar, jalan sendiri ke hotel!
Beware pada tuk-tuk yang menawarkan harga murah! Walaupun tidak murah juga (50 THB itu mahal buat ukuran naik tuk-tuk), ternyata kami dikelabui! Tuk-tuk yang kami naiki ternyata membawa kami ke restoran antah berantah, masih di blok yang sama dengan hotel kami (tapi tempatnya agak sepi, didepan ada sungai kecil, dengan hanya ada 1 tukang tuk-tuk lain di depan restoran), yang begitu sampai di restoran (tampaknya menjual seafood) kami langsung disambut om-om dengan senyum licik (sok baik) “Welcome...”,
Muka lebar: “I want to go to Khao San”
Liar who rides tuk-tuk: “No go here first”
Mr. Welcome: “Are you hungry? Are you hungry?”
Muka lebar: “No, it’s misunderstanding, i dont wanna eat here”
Liar who rides tuk-tuk: “you eat here, i will take you to Khao San”
Muka lebar: “NO! I dont want to eat. Take me back to the HOTEL!”
Gue lupa intinya, gue dan si Kaki Berbulu ngomong apa, setelah itu karena terjadi perdebatan antara tukang tuk-tuk, om-om, dan kami berdua, yang jelas gue kesel. Kalo tempatnya kaga spooky, gue pasti ud turun dari tuk-tuk, gak pake bayar, jalan sendiri ke hotel!
Disepanjang jalan balik ke hotel, gue melototin Kaki Berbulu yang mau aja naik tuk-tuk dengan harga yang (ga) murah (juga). Akhirnya kita tetep bayar si tukang tuk-tuk 20THB (sambil nyengir nerima duit), i take it as a short ride around the block and A lesson of not trusting anyone offers u cheap ride, there no such thing. You dont need such cheap service, it’s all cheap in Bangkok.
Akhirnya, kembali ke trotoar gelap dan sepi, kami duduk di kios nasi hainan, depan 7/11, makan nasi ayam hainan seharga 35THB seporsi plus minum gratis.
Kembali ke hotel untuk istirahat, tak lupa ngecek kembali rencana perjalanan keesokan harinya.
Gud nite Bangkok.
*Setelah mengambil barang, dan berjalan ke luar, ternyata banyak sekali peta Bangkok, kalap mengambil banyak peta, yang ternyata semua sama isinya, hanya penerbitnya berbeda-beda (mostly iklan) akhirnya Si Muka Lebar hanya menyimpan peta resmi bangkok yang ditebitkan TAT (Lately, peta resmi ini menjadi sangat berguna karena di dalamnya ada rute bus) dan peta Bandara (Abisnya bandaranya luuaaaasssss bangeeettt*lebay*, dan suka hilang arah kalo banyak orang, walaupun petunjuk airport cukup jelas).
**Kami memutuskan untuk naik taxi argo (taxi meter), walapun pak supir taxi-nya tidak bisa Bahasa Inggris dan hanya berbekal komunikasi bahasa monyet serta cakil (catatan kecil) angka thai, Muka Lebar learned her first thai language “Petchburi 15” (yang dibaca Pechabuli Sihp Haaa) dengan ejaan yang disempurnakan pak supir taxi.
wuiiih Bangkok... Asik nih. Masa 50 Baht gak murah? disini uang segitu gak bisa naik Bajaj juga keliling Jakarta...
ReplyDeleteInilah kata-kata orang yang dengan mudah tertipu tuktuk yang nawarin harga mahal!
ReplyDelete