Daisypath Anniversary tickers

Friday, 4 February 2011

Ujung Genteng #2: it's raining man... ayeyuya..

Bangun pagi dengan muka kucel bau acem, Si Muka Lebar dan Kaki Berbulu langsung berjalan-jalan di Pantai Ujung Genteng di depan hotel pondok. Awan mendung sudah menggantung di langit kejauhan, pantainya sepi, dan lumayan bersih. Dengan pasir putih halus dan terkadang bercampur kerang dan terumbu karang. Seharusnya kami mulai memotret dengan si Cantik, tapi apa boleh buat, karena dianiaya semalem, ujan-ujanan, jadilah lensanya berembun, dan secara kita bukan protograper beneran, ya iya lah kita cuma punya 1 lensa. Jadilah si Muka Lebar jalan di menyusuri pantai, ngelonin lensa, biar embunnya cepat menghilang. 


Pantai Ujung Genteng dengan air yang jernih


  
Pantai mendung
 
Pantai tak berombak karena terhadang karang

30 menit berjalan-jalan di sekitar pantai, kami kembali karena sudah janji dengan Jack dan Acoy tukang ojek yang asoy untuk mengantar kita keliling Ujung Genteng hari ini. Dengan tarif 100.000 IDR, sampai mata hari terbenam.

Akhirnya hujan rintik-rintik pun turun saat kami mulai petualangan hari ini di Ujung Genteng, untungnya kita sudah jalan-jalan di pantai. Sebelum jalan-jalan, sesuai janji mas-mas Pondok Hexa, kita pindah ke kamar yang lebih cihuy. Dan mahal. Proses pindah sendiri memakan waktu sehingga kita baru bisa meninggalkan pondok jam 11.

Perjalanan dimulai dengan melihat Pantai yang menyatu dengan muara. Jalur yang kita lewati adalah jalur yang sama dengan jalur semalam ke tempat penetasan penyu. Bedanya seluruh pemandangan terlihat, karena terang, walau tidak cerah. Karena hujan turun rintik-rintik. Kami menyusuri jalan becek dan berbatu, ditengah jalan hujan berubah menjadi deras dengan hembusan angin kencang. Kami pun berteduh di rumah penduduk.

Sang Potograper with the black jacket; Wearing yellow Acoy, and the white t-shirt is Jack

Wow, hujan angin yang dahsyat


Setelah hujan reda, kami kembali melanjutkan perjalanan, namun lagi-lagi ditengah jalan hujan kembali deras dan kami pun berteduh di warung kopi yang merupakan saung bambu. Hal ternikmat adalah, menikmati kopi susu panas, diterjang hujan dan angin, dengan pemandangan pantai, diiringi lagu Wind of Change. Obrolannya pun obrolan warung kopi, seputar sengketa tanah antara masyarakat dan angkatan di tempat pelelangan ikan, pemilik hotel di wilayah ujung genteng yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, status dan harga tanah di sekitar sini. Oh... Gitu...
Oke, ketika hujan agak reda, kami langsung beranjak ke tempat tujuan pantai [*] (itu karena lupa namanya), apa yang spesial? Pantai ini adalah titik bertemunya sungai dan laut. Wow, never been to a place like this before. Dan ternyata perjalanannya pun, lebih parah sodara-sodara dibanding perjalanan semalam, secara kami melewati lagi tempat penangkaran penyu, menuju rawa dan jalan becek dan berlumpur. Melewati hutan, dan rawa, kemudian mendaki, terakhir adalah bukit pasir, yang ini si Muka Lebar skip naik ojek, dan memutuskan untuk turun dan jalan kaki. Bahaya.

Kami sampai dibukit ternyata, dimana dibawah adalah pantai kosong, dan tak berujung (tampak seperti itu) kegirangan, karena perjalanan panjang dan mendebarkan, kami berjalan-putar-putar dan mulai mengabadikan pantai [*] (apa ya namanya?). Ditengah-tengah tiba-tiba hujan semakin deras dan semakin kencang. Berlarilah si Muka Lebar dan si Kaki Berbulu ke Pos diatas bukit, tempat Jack dan Acoy menanti.

Pertemuan sungai dan laut (dibelakang si Muka Lebar)


Ini muara sungai

Pos diatas bukit


Berlindung dari angin dan hujan


Si Muka Lebar dan Si Kaki Berbulu stuck lumayan lama di pos kecil diatas bukit, ditengah hujan angin (can we call it storm?). Anginya makujubileh, saking kencengnya (kaya nampar-nampar air hujan), Jack, Acoy, Si Muka Lebar dan Si Kaki Berbulu duduk diluar pos untuk bersembunyi di balik dinding pos, dari kencangnya angin dan hujan. Ditengah hujan si wabistan menelpon, dengan cluelessnya curhat, saat angin nepok nepok pipi, buset, liburan kali ini banyak telpon mengejutkan...
Sambil berteduh Jack pun bercerita kisahnya sewaktu menjadi nelayan dan terjebak di badai macam ini. Ckckckck. He made it alive. Pantesan doi kaga takut dan gentar naik motor cross ala Ujung Genteng ini. (eike bok ya takut hiks hiks).

Saat hujan mulai reda, hari sudah lumayan siang pukul 3-an (kelamaan berteduh dimana-mana kayanya), kami pun memutuskan untuk kembali, kembali naik motor dan menyusuri jalan tadi dan tahukah. kalian.. Jeng jeng jeng jeng.... Secara kita melewati rawa, tadi sebelum badai, hanya becek, setelah hujan jadi terendam air kaya sungai kecil... hiks hiks...

Jadi inget film Into the Wild,  langsung takut lah si Muka Lebar. Panikidun Matiyatun... Mamfuss nih gue ga kbisa balik, berenang aja apa, setelah mencari jalan-jalan lain, tampaknya rawa-rawa itu telah digenangi air, dan kita kembali ke jalan kita semua. Tidak ada pilihan lain selain menyebrangi becekan genangan air... Sungai kecil di depan kami!

is it dead end?



No comments:

Post a Comment