Daisypath Anniversary tickers

Friday, 7 January 2011

Ujung Genteng #1: How i met si Mata Sendu

Liburan natal ini disambut gegap gempita, bagi sebagian orang. Bagi kami? Well, we're just got back from Bali. Having a great weekend. Uang habis, kami pun bingung. Mau ke mana ya? Ide pun bermunculan, Ujung Kulon? Mahal sewa kapalnya, musim hujan pula. Karimun Jawa, musim hujan, kapal ga nyebrang. Nonton bola di Malaysia? Tiket gak dapet, yang paling krusial sih, mahal (tiket mahal sih masi ada, yang murah yang gak ada). Jadi balik, kita lagi miskin. Tercetus lah ide, Ujung Genteng!
Dengan modal browsing hotel, uang secukupnya, si Kecil Kayimun, peta dan perbekalan berangkatlah kami ke Ujung Genteng, yang merupakan bagian dari kota/kabupaten Sukabumi. Terletak di sebelah barat daya Pulau Jawa (kata Si Kaki Berbulu). Kami berangkat pukul 11 dari Jakarta melewati macetnya tol puncak, kami masuk Ciawi mengarah ke Sukabumi. Macet. Tiga jam lebih kami habiskan dijalan dari Ciawi, dan itu masih sepertiga perjalanan. Kami menghemat waktu perjalanan dengan membawa bekal makan, sehingga tidak perlu mampir-mampir cari makan. Sepanjang jalan selepas Ciawi, dkk. kami melewati gunung kapur, yang ter-oke adalah pemandangan jurang, bukit, laut dan PLTU. Kami melewati Ci...du (yang kalau belok kanan Pelabuhan Ratu) saat hari beranjak sore. Melewati Surade, lalu masuk Ujung Genteng pukul 7-an, dengan membayar retribusi untuk mobil 5.000 IDR, 2.500 IDR per-orang. Ternyata penginapan kami masih jauh, melewati jalan gelap tak berlampu dan kualitas jalan luar biasa jeleknya. Setelah habis jalan gelap dan rusak, kami berhenti lagi dan membayar retribusi pada pak hansip. Lalu belok kanan menuju hotel kami, yang ternyata jalannya lebih parah, off road. Ini adalah jalan pantai Ujung Genteng


Kami menginap di Pondok Hexa. Dengan mas resepsionis mirip anggota RUN plus Tomas Nawilis (itu loh yg main film serem). Dapat kamar paling butut, maklum penuh. Si Muka Lebar pun memohon, up grade kamar. Sayangnya, penuh! Tak berhasil, si Muka Lebar pun komplen, pertama ceiling fan gak ada. Si mas nyengir, "tenang mba, diambilin."
Asli loh ceiling fan diganti dengan kipas meja, macem kipas yang dipake anak kantor kalo kantor lagi musim panas. Komplen kedua, lampunya kuning. Si mas nyengir lagi "kalo bule lebih suka yang kuning". Si Muka Lebar pun menatap si mas, dengan muka memble, "iya, mbak. Saya ganti yang putih" jawab si mas cepet sambil nyengir kuda. Setelah perubahan kecil, yang membuat kamar butut tampak mendingan, niat tidur di mobil batal padahal sudah siap bawa bantal.

Malam ini pun, didorong rasa enggan stay dikamar. Kami memutuskan melihat penyu bertelur. Dipanggilah tukang ojeg untuk mengantar kami, Acoy dan Jack pemuda lokal asli Ujung Genteng. Dengan tarif 40.000 IDR per-ojeg. Kok mahal, you'll know where does the price come from. Jalannya off road saudara-saudara dan tak berlampu! Dimulai dari jalan berbatu, pasir, kubangan, dan lumpur becek pastinya bergelombang berasa naik kuda. Sepanjang jalan si Muka Lebar memanjatkan doa-doa. Waktu tempuh dari hotel ke tempat penangkaran penyu 15-20 menit. Kami sampai dengan selamat di tempat penangkaran penyu!



Penangkaran penyu ini dikelola pemda setempat, beserta dinas perikanan. Kami harus mengisi daftar tamu. Dan membayar 5.000 IDR perorang. Kami pun menanti. Gue tetipu, ada yang bilang, bulan-ber banyak penyu berterlur. Ternyata dari Juli sampai September, bisa sampai lebih dari 30 penyu semalam. Dan jumlahnya menyusut. Berkurang dari hari ke hari. Menurut pak-pak disana, jaman ia muda dulu, bisa sampai ratusan ekor. Wow. Alias bulan Desember agak sepi lah. Preeet. Disana kami harus menanti hingga ada penyu yang naik untuk bertelur.

Sambil menunggu bisa megang anak penyu


Dalam penantian panjang bagai tak berakhir. Si Muka Lebar tak disangka tak diduga mendapat telpon ribuan kilometer jauhnya, dari benua tetangga, si Cupicupucups. Lumayan lah menghalau rasa bosan yang amat sangat. Sementara si Kaki Berbulu berdiskusi dengan fotografer yang memberi tips-tips berguna untuk memotret. Hujan pun turun, padahal belum tiba giliran kami. Sudah pesimis sih gak akan melihat penyu. Ternyata justru, itu rejeki kami. Takut hujan bertambah deras, kami pun dipersilahkan melihat saat itu juga. Namun tidak hanya kami. Semua orang!



Kami mengikuti arus orang berjalan dijalan setapak tanpa lampu yang berpagar (tau ada pagarnya, soalnya eike nabrak bo, ga sabaran nunggu orang-orang jalan lambat bener *jiwa supir angkot, bawaaannya pengen nyalip mulu*). Sedikit mirip jurit malam jaman sekolah dulu. Hehe, seru deh, indra pengelihatan kita (si Muka Lebar) mati total, gelapnya mentok (dilarang membawa lampu, senter, HP, dll.) dari kejauhan terdengar suara ombak menderu, ada pantai di depan kita, hujan rintik-rintik. Setelah menginjak pasir pantai, ternyata anginnya super kencang, hujan bukan rintik lagi (rupanya sepanjang jalan setapak tagi banyak pohon sehingga hujan dan angin tidak terlalu terasa). Untungnya mata sudah lumayan terbiasa walau tidak ada cahaya, pantainya luas, bisa lihat ibu-ibu jalan dan ada gerombolan orang di depan, agak jauh dari tempat kami masuk. Pasir pantainya halus sekali sehingga setiap jalan, kaki terperosok didalamnya. Ombak lebih keras terdengar. Dan hujan. Manusia cenderung takut pada apa yang tidak diketahui. Si Muka Lebar takut (si Cantik kenapa-kenapa, itu ujan dan angin kenceng, takut si Cantik masuk angin), karena gelap, angin kencang, suara ombak yang keras, hujan pula, si Muka Lebar minta balik, tapi nanggung kata Kaki Berbulu yang memaksa terus jalan. Kami pun berjalan menuju titik cahaya di depan.

Ini loh jalannya (diambil keesokan harinya)


Dengan terengah engah, basah, kedinginan. Kami sampai. Orang berkerumun. Si Muka Lebar mendadak berlutut (cape bo). Saat itu si Muka Lebar bertemu dengan si Mata Sendu, diantara sela sela kaki orang lain. Panjangnya mungkin 1 meter. Di dalam cekungan pasir yang cukup mengubur tubuhnya sendiri yang besar, dia menggali dengan sangat pelan.

Si mata sendu

Orang berkerumun, ribut, blitz berkilat mengabadikan. Penyu peka cahaya, namun hujan yang membuat kami bisa melihat penyu sekarang, juga membuat orang lain bisa melihat penyu. Jadinya massa yang cukup banyak lebih sulit dikendalikan. Si bapak pengawas pun pasrah, mau gimana lagi. Si Mata Sendu jelas terganggu dengan kehadiran kami, manusia, tapi telurnya masih puluhan lagi yang harus dikeluarkan (sotoy). Selanjutnya Si Kaki Berbulu berkata, si Mata Sendu telah cukup lama hidup, dan dari puluhan (atau ratusan) tahun hidupnya, diganggu manusia sekali-kali selama bertelur tidak masalah (pembenaran karena Si Muka Lebar merasa bersalah).
Malam itu si Kaki Berbulu dan si Muka Lebar pulang, hujan bertambah deras, gelapnya malam dan angin kencang si Muka Lebar bersyukur bertemu si Mata Sendu sekaligus menyesali pertemuan mereka yang tidak menyenangkan. Semoga kita bertemu lain kali di kesempatan yang lebih baik!

Papan informasi di penangkaran

Pantai Penyu Pangumbahan

Tuesday, 4 January 2011

It's Raining in Bali

Bali memang tempat liburan favorit. Idenya dimulai karena cuti panjang tanpa rencana si Muka Lebar, kemudian diajak menjajal si Cantik di Bali oleh Ravanova the coolest girl on earth. Si Kaki Berbulu pun ikut setelah dapet Tune Hotel promo, single room around 120.000,- IDR lah semalem, dibuat lah rencana (sayang Chipz ga bisa ikutan) wiken di Bali. Sounds like a good plan!

Hari pertama si Ravanova, the coolest girl on earth mengajak kami ke Green School, sekolah yang seluruh bangunannya terbuat dari bambu. Which is cool, super cool! Yang sekolah disini anak-anak bule, katanya uang sekolahnya sekitar 20juta (atau lebih bayarnya pake dolar bok) untuk play group. Pelajarannya, salah satunya menanam padi . Kalo pohon mangga berbuah duit, eike mau ah nyekolahin anak di sekolah kaya beginian. Hehehe. Para pemirsa yang mengunjungi sekolah ini juga bisa menyumbang yang besarannya minimal 100 USD, nanti penyumbang besar namanya akan diukir di bambu dan dijadikan bagian dari bangunan sekolah, yang disebut "Heart of the School" yang berbentuk Aula besar.
Cafetaria Green School

Struktur bangunan yang seluruhnya menggunakan bambu

Setelah Green School kami meluncur ke spot wisata Bali yang terkenal. Sayangnya pertimbangan cuaca lagi-lagi dikesampingkan, berharap terik sinar matahari  . Preeet ,yang ada Bali hujan deras. Itu yang pertama, yang kedua kami datang saat upacara Galungan  atau Kuningan. Niat untuk makan nasi Bali Wardhani pupus karena pastinya tutup. Tujuan pertama si Kaki Berbulu dan Muka Lebar  adalah mengunjungi Tanah Lot, yang sayangnya cuaca sedang mendung dan ombak besar...

Ini bagian dari upacara adat
A man behind the mask
 Ditengah jalan kami menemui atraksi adat, semacam barongsai babi hutan, yang diisi 2 orang, dengan gagah beraninya Si Muka Lebar minta turun ditemani Ravanove, tapi emang cupu, begitu barongnya mendekati kita, si Muka Lebar ngacir. Kamera dikasi ke Ravanova the coolest girl on earth tak gentar dan takut menghadapi barong, hihihi
Ravanova captured it on our way to Tanah Lot

Upacara Adat

Upacara di Pure Tanah Lot
Ombak Besar, masi aja ada yang nekat foto-foto


Well, setelah mengunjungi Tanah Lot kita membanting setir menuju selatan pulau Bali, Uluwatu-Jimbaran, Rock Bar! Eh, fyi di tempat barong dan Tanah Lot dua kali loh si Muka Lebar dikira orang asing, heuhehehe muka eike putihan kali ya bok . Hihihi.


Setelah kesasar dan muter-muter sampailah kita di Ayana Hotel. Si Muka Lebar, Kaki Berbulu pun  akhirnya punya kesempatan mengunjungi Rock Bar, lagi-lagi dengan cuaca mendung dan angin kencang, ombak besar pun membuat sebagian Rock Bar yang levelnya terdekat dengan air ditutup, sehingga antrian panjang dan mengular menuju Rock Bar pun terjadi dan waiting list yang panjang untuk masuk...
The Rock Bar
ditutup karena ombak besar
Rock Bar apa Wave Bar, yang diujung-ujung pasti udah basah kena ombak



Pengen dinner di dock ujung itu, caranya nikah di chapel hotel ini...
Rock Bar
 Sayangnya si Kaki Berbulu moodnya jelek gara-gara merasa pelayanannya jelek. Yang pertama kita disuruh duduk ditempat yang viewnya jelek (well sebenarnya menurut Muka Lebar bagus, tp ada gagang tangga yang nutupin view kita) dan gak boleh nge-charge BB. Asli loh Si Kaki Berbulu bete abis. Belom lagi si Ravanova yang menyisip margarita udah pengen guling-guling di halaman (nyisip doang coba, gimana minum?). Makanannya ya so-so lah, kita pesan potato and pita bread fries, frozen lime margarita, si ravanova pesan hm, lupa tapi enak dan ada gingernya, sementara si Kaki Berbulu minum Ginger Ale.


Sunset di Rock Bar

Ombak yang besar bikin kaget


Kuta mendung, skases lah kita gak dapet view bagus.  Dari pada kecewa si Muka Lebar menggila dengan pose-pose andalannya...



Tetep gaya lompat, ngikutin ane nih :p
Mataharinya gak kelihatan :(

Pantai Kuta yang mendung
Dum
Syubiduuu
Pam pam

 Si Muka Lebar dan pose terbang

Dubidu

syalala
Hup!


Menurut seorang semi pro fotografer, “fotografetr tuh harus rajin bangun pagi, pemandangan bagusa adanya jam 6-8 pagi". Bangun pagi pas liburan? Hehehe. Not really our thing, we’re not a photographer anyway. But, we did, wake up early in the morning on our holiday. Jadi ceritanya si Kaki Berbulu pengen ke Tulamben. Snorkling, liat kapal karam. Akhirnya dipilih lah hari minggu dan mengingat jarak Tulamben yang jauh dari Kuta, kita berangkat jam 5 (lima) pagi.

Petualangan pun dimulai, berbekal roti gandum selai kacang (kerenya tetep tapi sekarang diet jd menunya beda), peta Periplus yang up to date (bener deh bok, kalo beli peta jalan yang up to date, beneran), kita tidak mengandalkan GPS karena alesan gak ada batre. Mulai dari Bali ring road, diteruskan menyusuri pesisir timur Bali, dengan disuguhi pemandangan pantai, gunung, sawah, sungguh indah sekali. The best view menurut gue adalah pemandangan laut yang diapit gunung, dan sawah ditengahnya. Mantab lah. 

Gunung, laut dan sawah... Amazingly beautiful

Hamparan sawah dan gunung sepanjang jalan...

Jalan berkelok-kelok
3 Km menuju Tulamben ada papan petunjuk ini, gak jadi nyasar deh :p
Ditengah indahnya pemandangan, berangkat pagi, tentu saja kami gak sempet menuntaskan panggilan alam, jadilah kami kebelet sepanjang jalan. Si Kaki Berbulu, memtuskan untuk memenuhi panggilan alam di kantor polisi dengan kedok sok-sok nanya jalan, sementara si Muka Lebar, elit dikit dong, di cottage hotel, namanya Bali Beach Cottage (semacam itu lah), dengan kedok sok-sok nanya kamar buat hanimun... Alhasil, sampailah kita di Tulamben jam 10.

Ternyata sudah cukup banyak pendatang, diver lokal dan asing, dan turis-turis yang ingin snorkling. Dengan biaya sewa snorkel dan kaki katak (apa sih namanya) 50.000 IDR dan guide 50.000 IDR, pergilah si Kaki Berbulu snorkling. Si Muka Lebar di darat aja bengong, sambil moto-moto bule, cihuy!

Pantai Tulamben

Pantai pasir hitam yang berbatu

 Tulamben sendiri adalah pantai batu, yang biasa saja. Sungguh, kalo bukan karena si Kaki Berbulu tercinta, perjalanan berjam-jam hanya untuk pantai berbatu, sungguh males banget. Tapi, kenapa ada banyak orang yang datang, jauh-jauh ke sini?
Banyak divers di Pantai Tulamben
Si Kaki Berbulu dan guidenya
Well, keindahannya tidak ada di permukaan tenyata saudara, tapi justru di bawah air. Si Muka Lebar sendiri tidak turut melihat, bagaimana indahnya pemandangan bawah laut pantai Tulamben. Tapi menurut si Kaki Berbulu, di bawah permukaan air, ada kapal US Liberty yang karam, serta ikan-ikan warna-warni yang lucu. I still didn’t get the point actually, tapi kemudian si Kaki Berbulu bilang “jadi pengen les diving deh, biar bisa nyelem lebih dalam”. Oke it was something then.



Kembali dari Tulamben, kami menyempatkan diri makan siang di Sate Ikan Marga Sari. Info dari si Ravanova, setelah Pura Kelelawar dari arah Tulamben (ada bahasa Balinya Pula Lawu ato apa gitu), belok ke kanan , Lurus terus, nanti ada rumah makan lesehan.
Oke Mas-mas paling ganteng se-restoran Marga Sari

Menu utamanya Ikan! Love it!

 Lucunya, kita datang, duduk dan tidak ditanya pesan apa. Kurang dari 10 menit kemudian, datang lah 2 nasi putih, sambal khas bali, kacang goreng, sayur kacang panjang. Lalu 2 mangkuk sup ikan, dan sepiring Sate lilit ikan, ikan yg sudah dihancurkan dan dicampur bumbu-bumbu, dipanggang kemudian dipotong kotak-kotak (apa yah namanya?), dan sate ikan. Rasanya ya ampun sodara-sodara enakkkk paraaah! Sup ikan berwarna kuning, bukan kunyit tapi (bukan kuning neon tp kuning coklat keruh) ada rasa kemiri, bawang merah, cabe rawit dan daging ikan yang gak ada amis-amisnya. Sate ikan manis, macam makan sate ayam aja, tapi ini ikan. Sate lilitnya padet dan enak, kemudian yang ikan kotak dipotong-potong, hum yummy juga. Sambal khas bali (sambal matagh yah?) enak juga, dan ternyata murah harganya. Bagus deh (gak punya duit soalnya). Ahhh puas sekaliii

Dan dengan berakhirnya petualangan ke Tulamben sukses lah perjalanan kere, Bali episode 2! (Bali kere episode 1 ada disini).

Bye Bali, see u soon!
Ps: Besok paginya kita pulang ke Jakarta, dengan hujan deres, pesawat tetep take off, Hahahah. Deg deg an bok penumpangnyapacat pasi.