Liburan natal ini disambut gegap gempita, bagi sebagian orang. Bagi kami? Well, we're just got back from Bali. Having a great weekend. Uang habis, kami pun bingung. Mau ke mana ya? Ide pun bermunculan, Ujung Kulon? Mahal sewa kapalnya, musim hujan pula. Karimun Jawa, musim hujan, kapal ga nyebrang. Nonton bola di Malaysia? Tiket gak dapet, yang paling krusial sih, mahal (tiket mahal sih masi ada, yang murah yang gak ada). Jadi balik, kita lagi miskin. Tercetus lah ide, Ujung Genteng!
Dengan modal browsing hotel, uang secukupnya, si Kecil Kayimun, peta dan perbekalan berangkatlah kami ke Ujung Genteng, yang merupakan bagian dari kota/kabupaten Sukabumi. Terletak di sebelah barat daya Pulau Jawa (kata Si Kaki Berbulu). Kami berangkat pukul 11 dari Jakarta melewati macetnya tol puncak, kami masuk Ciawi mengarah ke Sukabumi. Macet. Tiga jam lebih kami habiskan dijalan dari Ciawi, dan itu masih sepertiga perjalanan. Kami menghemat waktu perjalanan dengan membawa bekal makan, sehingga tidak perlu mampir-mampir cari makan. Sepanjang jalan selepas Ciawi, dkk. kami melewati gunung kapur, yang ter-oke adalah pemandangan jurang, bukit, laut dan PLTU. Kami melewati Ci...du (yang kalau belok kanan Pelabuhan Ratu) saat hari beranjak sore. Melewati Surade, lalu masuk Ujung Genteng pukul 7-an, dengan membayar retribusi untuk mobil 5.000 IDR, 2.500 IDR per-orang. Ternyata penginapan kami masih jauh, melewati jalan gelap tak berlampu dan kualitas jalan luar biasa jeleknya. Setelah habis jalan gelap dan rusak, kami berhenti lagi dan membayar retribusi pada pak hansip. Lalu belok kanan menuju hotel kami, yang ternyata jalannya lebih parah, off road. Ini adalah jalan pantai Ujung GentengKami menginap di Pondok Hexa. Dengan mas resepsionis mirip anggota RUN plus Tomas Nawilis (itu loh yg main film serem). Dapat kamar paling butut, maklum penuh. Si Muka Lebar pun memohon, up grade kamar. Sayangnya, penuh! Tak berhasil, si Muka Lebar pun komplen, pertama ceiling fan gak ada. Si mas nyengir, "tenang mba, diambilin."
Asli loh ceiling fan diganti dengan kipas meja, macem kipas yang dipake anak kantor kalo kantor lagi musim panas. Komplen kedua, lampunya kuning. Si mas nyengir lagi "kalo bule lebih suka yang kuning". Si Muka Lebar pun menatap si mas, dengan muka memble, "iya, mbak. Saya ganti yang putih" jawab si mas cepet sambil nyengir kuda. Setelah perubahan kecil, yang membuat kamar butut tampak mendingan, niat tidur di mobil batal padahal sudah siap bawa bantal.
Malam ini pun, didorong rasa enggan stay dikamar. Kami memutuskan melihat penyu bertelur. Dipanggilah tukang ojeg untuk mengantar kami, Acoy dan Jack pemuda lokal asli Ujung Genteng. Dengan tarif 40.000 IDR per-ojeg. Kok mahal, you'll know where does the price come from. Jalannya off road saudara-saudara dan tak berlampu! Dimulai dari jalan berbatu, pasir, kubangan, dan lumpur becek pastinya bergelombang berasa naik kuda. Sepanjang jalan si Muka Lebar memanjatkan doa-doa. Waktu tempuh dari hotel ke tempat penangkaran penyu 15-20 menit. Kami sampai dengan selamat di tempat penangkaran penyu!
Penangkaran penyu ini dikelola pemda setempat, beserta dinas perikanan. Kami harus mengisi daftar tamu. Dan membayar 5.000 IDR perorang. Kami pun menanti. Gue tetipu, ada yang bilang, bulan-ber banyak penyu berterlur. Ternyata dari Juli sampai September, bisa sampai lebih dari 30 penyu semalam. Dan jumlahnya menyusut. Berkurang dari hari ke hari. Menurut pak-pak disana, jaman ia muda dulu, bisa sampai ratusan ekor. Wow. Alias bulan Desember agak sepi lah. Preeet. Disana kami harus menanti hingga ada penyu yang naik untuk bertelur.
Sambil menunggu bisa megang anak penyu |
Dalam penantian panjang bagai tak berakhir. Si Muka Lebar tak disangka tak diduga mendapat telpon ribuan kilometer jauhnya, dari benua tetangga, si Cupicupucups. Lumayan lah menghalau rasa bosan yang amat sangat. Sementara si Kaki Berbulu berdiskusi dengan fotografer yang memberi tips-tips berguna untuk memotret. Hujan pun turun, padahal belum tiba giliran kami. Sudah pesimis sih gak akan melihat penyu. Ternyata justru, itu rejeki kami. Takut hujan bertambah deras, kami pun dipersilahkan melihat saat itu juga. Namun tidak hanya kami. Semua orang!
Kami mengikuti arus orang berjalan dijalan setapak tanpa lampu yang berpagar (tau ada pagarnya, soalnya eike nabrak bo, ga sabaran nunggu orang-orang jalan lambat bener *jiwa supir angkot, bawaaannya pengen nyalip mulu*). Sedikit mirip jurit malam jaman sekolah dulu. Hehe, seru deh, indra pengelihatan kita (si Muka Lebar) mati total, gelapnya mentok (dilarang membawa lampu, senter, HP, dll.) dari kejauhan terdengar suara ombak menderu, ada pantai di depan kita, hujan rintik-rintik. Setelah menginjak pasir pantai, ternyata anginnya super kencang, hujan bukan rintik lagi (rupanya sepanjang jalan setapak tagi banyak pohon sehingga hujan dan angin tidak terlalu terasa). Untungnya mata sudah lumayan terbiasa walau tidak ada cahaya, pantainya luas, bisa lihat ibu-ibu jalan dan ada gerombolan orang di depan, agak jauh dari tempat kami masuk. Pasir pantainya halus sekali sehingga setiap jalan, kaki terperosok didalamnya. Ombak lebih keras terdengar. Dan hujan. Manusia cenderung takut pada apa yang tidak diketahui. Si Muka Lebar takut (si Cantik kenapa-kenapa, itu ujan dan angin kenceng, takut si Cantik masuk angin), karena gelap, angin kencang, suara ombak yang keras, hujan pula, si Muka Lebar minta balik, tapi nanggung kata Kaki Berbulu yang memaksa terus jalan. Kami pun berjalan menuju titik cahaya di depan.
Ini loh jalannya (diambil keesokan harinya) |
Dengan terengah engah, basah, kedinginan. Kami sampai. Orang berkerumun. Si Muka Lebar mendadak berlutut (cape bo). Saat itu si Muka Lebar bertemu dengan si Mata Sendu, diantara sela sela kaki orang lain. Panjangnya mungkin 1 meter. Di dalam cekungan pasir yang cukup mengubur tubuhnya sendiri yang besar, dia menggali dengan sangat pelan.
Si mata sendu |
Orang berkerumun, ribut, blitz berkilat mengabadikan. Penyu peka cahaya, namun hujan yang membuat kami bisa melihat penyu sekarang, juga membuat orang lain bisa melihat penyu. Jadinya massa yang cukup banyak lebih sulit dikendalikan. Si bapak pengawas pun pasrah, mau gimana lagi. Si Mata Sendu jelas terganggu dengan kehadiran kami, manusia, tapi telurnya masih puluhan lagi yang harus dikeluarkan (sotoy). Selanjutnya Si Kaki Berbulu berkata, si Mata Sendu telah cukup lama hidup, dan dari puluhan (atau ratusan) tahun hidupnya, diganggu manusia sekali-kali selama bertelur tidak masalah (pembenaran karena Si Muka Lebar merasa bersalah).
Malam itu si Kaki Berbulu dan si Muka Lebar pulang, hujan bertambah deras, gelapnya malam dan angin kencang si Muka Lebar bersyukur bertemu si Mata Sendu sekaligus menyesali pertemuan mereka yang tidak menyenangkan. Semoga kita bertemu lain kali di kesempatan yang lebih baik!
Papan informasi di penangkaran |
Pantai Penyu Pangumbahan |